Gugatan Hak Asuh Anak Perkara Perceraian (Kisah Pengalaman Penanganan Kasus oleh Advokat/Lawyer di Bali)
Pertanyaan yang kerap dilontarkan calon Klien kepada Kami tim Pengacara di Bali seputar kasus perceraian adalah bagaimana tentang hak asuh anak?, siapa yang mendapat hak asuh anak?.
Kami sebagai tim Pengacara di Bali memberikan satu contoh, seorang istri beragama Hindu yang memiliki anak masih di bawah umur, pertanyaan Istri tersebut adalah, apakah saya sebagai wanita beragama hindu, yang menikah menganut sistem purusa di Bali, berhak mendapatkan hak asuh terhadap anak saya yang masih di bawah umur?
Umumnya si wanita yang memiliki anak di bawah umur, enggan mengajukan gugatan perceraian karena takut kehilangan/dilarang ketemu anaknya yang masih menyusui/masih di bawah umur.
Baca Juga: LAMA PROSES PERCERAIAN DI PENGADILAN: PENGACARA PERCERAIAN DI BALI
Sebab ada sejumlah kasus pihak keluarga Laki-laki (Ayah) di Bali yang melarang pihak Ibu untuk melihat anaknya. Bahkan kasus ini sempat dimediasi oleh Prajuru Adat dalam hal Ini adalah Kelian Adat dan Bendesa Adat.
Dalam perkara perceraian di Pengadilan tentu menimbulkan akibat hukum setelah kedua orang tua si anak diputus bercerai oleh Pengadilan, mengenai siapa yang berhak mengasuh dan memelihara anak tersebut, apakah ayah, Ibu, kakek, nenek atau kerabatnya seperti paman dan bibinya? Apabila orang tua si anak meninggal.
Hukum Nasional mengatur untuk anak di bawah usia 12 tahun, pengasuhan dan pemeliharaan anak umumnya berada di tangan Ibunya, anak yang telah berumur diatas 12 tahun, dapat memilih untuk ikut siapa/ untuk memilih diasuh siapa.
Berbeda dengan perkawinan menurut hukum Hindu atau hukum adat di Bali, yang menganut sistem Kebapaan (Vederrechtelijk), sehingga yang lebih berhak adalah pihak purusa atau pihak laki-laki.
Namun bilamana anak tersebut masih menyusui dengan alasan kemanuasiaan dan demi tumbuh kembang si anak maka Pengadilan memberikan hak asuh kepada Ibunya.
Hak Asuh Anak Menurut Undang Undang
Bila kita mencermati UU Perlindungan Anak, baik ayah atau Ibu (kedua orang tua) memiliki hak yang setara dan sama untuk mengasuh memelihara, merawat serta melindungi hak-hak anak.
Yang terpenting dalam hal ini adalah kemampuan orang tua baik ayah atau Ibu kandungnya untuk mengasuh dan memelihara anaknya.
Namun Hakim dapat saja mencabut Hak Asuh Anak tersebut bilamana diketemukan bukti kuat bahwa orang tua tersebut melalaikan kewajibannya terhadap anak, orang tua tersebut berlaku buruk sekali terhadap anak, sesuai yang diatur dalam Pasal 49 ayat (1) UU Perkawinan yang berbunyi “Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal:
- Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
- Ia berkelakuan buruk sekali;
Penulis yang adalah tim Pengacara di Bali berpendapat untuk menjawab pertanyaan calon klien (seorang Ibu yang memiliki anak di bawah umur) adalah bahwa bilamana anak tersebut masih dibawah umur dan menyusui, maka yang berhak memelihara dan mengasuhnya adalah ibunya.
Adapun alasannya adalah secara psikologis yaitu: sejak bayi dilahirkan didunia, bayi mulai membentuk ikatan emosional dengan Ibunya, ikatan terhadap Ibu Kandungnya ini bertambah kuat seiring dengan bertambahnya usia bayi tersebut. Namun nanti setelah anak tersebut dewasa, tanggung jawab anak tersebut adalah tetap menjadi tanggung jawab ayahnya sesuai konsep purusa atau kebapaan dalam agama Hindu (Adat Bali).